Pemerintah Siapkan Opsi Revisi UU Pemilu

Draf Rancangan Undang-Undang tentang Penyelenggaraan Pemilu sudah disusun. Pemerintah, siapkan beberapa opsi tentang sistem pemilu. Termasuk opsi-opsi, jika kemudian dalam pemilihan presiden, hanya ada satu pasangan calon, atau calon presiden tunggal.

Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumolo mengatakan itu di Jakarta, Jumat (19/8). Menurut Tjahjo, draf RUU Penyelenggaraan Pemilu sendiri sudah rampung. Sekarang, dalam proses uji publik untuk menjaring banyak masukan berharga. Selanjutnya, draf tersebut akan dibahas di level kabinet. “Draf sudah selesai,” kata Tjahjo.

Draf, kata Tjahjo, jika sudah dilakukan uji publik, akan dibahas di rapat terbatas di kabinet. Selanjutnya, segera setelah sepakat di tingkat kabinet, draf tersebut akan diserahkan ke parlemen, untuk kemudian dibahas bersama. Targetnya, September ini draf usulan pemerintah sudah bisa diserahkan ke DPR, dan dilakukan pembahasan bersama. “Deadline saya September. Itu yang kami janjikan,” kata Tjahjo.

Diharapkannya, Februari tahun depan, pembahasan sudah mengerucut pada hasil kesepakatan bersama. Bahkan, diharapkan, Februari, sudah bisa disahkan. Sebab, sudah banyak agenda yang mesti disesuaikan. Misalnya, agenda seleksi penyelenggara pemilu.

“Yang penting sebelum Februari bisa selesai. Ini kan kami juga berpacu dengan Pansel,” kata dia.

Draf RUU Penyelenggaraan Pemilu sendiri, kata Tjahjo, memuat beberapa opsi terkait sistem pemilu, juga mekanisme dalam pemilihan presiden. Pemerintah, sudah menyiapkan beberapa opsi untuk bisa dibahas dengan DPR. Misalnya opsi sistem pemilu, apakah akan tetap menggunakan sistem proporsional tertutup atau terbuka. Juga opsi mengenai kemungkinan pasangan calon presiden dan wakil presiden hanya ada satu pasangan.

Kutu Loncat

Sebelumnya, Anggota Tim Pakar penyusun Rancangan RUU Penyelenggaraan Pemilu, Dhani Syafrudin Nawawi, mengatakan partai politik mestinya memprioritaskan kadernya yang benar-benar ‘berkeringat’ untuk jadi calon, baik itu calon legislatif maupun kepala daerah. Bukan kemudian mengusung politisi karbitan, atau kutu loncat.

“Tugas pemerintah adalah membuat aturan yang memungkinkan misalnya kaum perempuan mendapat perlakuan khusus dan kader-kader yang berkeringat di partai diprioritaskan dan didorong untuk menjadi angggota DPR atau DPRD,” kata Dhani.

Jadi, kata Dhani, partai tak lagi tiba-tiba mengusung orang atau politis yang bergabung hanya saat menjelang pemilu.

Pemilu Indonesia “Over Threshold”

Pemilu Indonesia, dinilai sudah over threshold. Penerapan ambang batas perwakilan atau threshold gagal menjadi instrumen penyederhanaan partai. Justru sistem kepartaian dari pemilu semakin meluas alias tidak sederhana.

Direktur Eksekutif Sindikasi Pemilu dan Demokrasi (SPD), August Mellaz, mengatakan itu dalam acara diskusi bertajuk, “Membaca Secara Kritis Sistem Pemilu Yang Menjadi Isu-isu Krusial Dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu”, di Jakarta, Minggu (21/8). Menurut August, selain gagal menyederhanakan sistem kepartaian, penerapan ambang batas perwakilan juga menimbulkan disproporsionalitas hasil pemilu, karena efek suara terbuang yang dihasilkannya.

“Patut diingat, threshold di Indonesia tidak hanya satu, sebagaimana yang dipahami selama ini yakni threshold formal 3,5 persen, namun ada threshold lain,” katanya.

Kata August, ada sejumlah threshold terselubung di daerah pemilihan yang berkisar antara 5-10 persen dan threshold metode penghitungan. Belum lagi syarat kepesertaan yang juga termasuk threshold dan threshold keterpilihan caleg dan capres. “Pendek kata pemilu di Indonesia bisa dikatakan sudah over threshold,” kata dia.

Mengenai isu-isu krusial yang masuk dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu, August mengapresiasi langkah pemerintah yang mengakomodasi setidaknya empat alternatif sistem pemilu. Empat sistem itu adalah daftar terbuka, daftar tertutup, daftar calon modifikasi dan model kombinasi pencalonan atau campuran. Namun memang jika dikaitkan dengan misi UU Pemilu yakni menjaga proporsionalitas dan derajat keterwakilan yang lebih tinggi perlu diajukan dua alternatif sistem.

“Pertama sistem proporsional daftar tertutup untuk tingkat nasional dan provinsi, sedangkan untuk tingkat kabupaten atau kota menggunakan daftar terbuka,” ujar August.

Alternatif kedua, kata August, tetap mempertahankan sistem yang dipakai pada pemilu 2014, yakni daftar terbuka dan dapil tidak berubah dengan modifikasi mekanisme alokasi perolehan suara kursi partai. Penghitungan suara kursi partai dihitung pada tingkat provinsi, untuk dialokasikan ke tingkat dapil dan diduduki oleh calon dengan suara terbanyak. “ Misi UU Pemilu hendaknya disebutkan agar jadi rujukan yang sesuai dengan perumusan RUU,” ujarnya.

Pemilu legislatif dan pemilihan presiden serentak, lanjut August, hendaknya juga di ikuti dengan penataan alokasi kursi DPR dan pembentukan dapil. Penataan ini dimaksudkan agar terjadi kesesuaian prinsip satu orang, satu suara dan satu nilai atau Opovov dari dua sistem pemilu yang berbeda dan saat ini hendak disatukan.

“Terkait ambang batas perwakilan, pelaksanaan pemilu di Indonesia dapat dikatakan kelebihan ambang batas. Baik itu batas formal 3,5 persen maupun bentuk lainnya. Ambang batas juga tidak berkorelasi secara linier dengan tujuan penyederhanaan sistem kepertaian. Data-data justru memperlihatkan hal sebalinya,” urai August.

13 Isu

Krusial Sementara itu, Dhani Syarifudin Nawawi, anggota tim pakar pemerintah dalam penyusunan RUU Penyelenggaraan Pemilu yang juga menjadi pembicara di diskusi tersebut mengatakan, bahwa ada 13 isu krusial dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu. Menurut Dhani, disempurnakannya tiga UU yakni UU Pemilu Legislatif, UU Pilpres dan UU Penyelenggara Pemilu, adalah untuk menyempurnakan sistem kepemiluan di Indonesia. “ Prinsipnya mempercepat proses,” kata dia.

Draf RUU Penyelenggaraan Pemilu itu sendiri kata Dhani, berisi himpunan-himpunan pengalaman dari pemilu ke pemilu. Tujuan dari RUU Penyelenggaraan Pemilu itu sendiri adalah memperbaiki kekurangan dari empat pemilu yang sudah dilakukan. Tujuannya adalah mempersingkat waktu, pemilu yang efektif dan hemat biaya.

“Kami harap betul UU tidak hanya sebatas untuk hadapi pemilu 2019, tapi menampung semua problem yang muncul pada 2024. Pada 2024 adalah pemilu serentak penuh, antara Presiden, DPR, DPRD dan Pilkada,” kata Dhani.

Sumber: koran-jakarta.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar