Pendahuluan
Kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka mewujudkan kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat tersebut, dapat membentuk suatu organisasi kemasyarakatan, dimana tentunya dalam menjalaninya harus tetap menghormati hak asasi dan kebebasan orang lain dalam rangka tertib hukum serta menciptakan keadilan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pengertian organisasi kemasyarakatan adalah organisasi yang didirikan dan dibentuk oleh masyarakat secara sukarela berdasarkan kesamaan aspirasi, kehendak, kebutuhan, kepentingan, kegiatan, dan tujuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan demi tercapainya tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan tujuan dibentuk dan berdirinya ormas sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan, adalah untuk (a) meningkatkan partisipasi dan keberdayaan masyarakat, (b) memberikan pelayanan kepada masyarakatan, (c) menjaga nilai agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (d) melestarikan dan memelihara norma, nilai, moral, etika, dan budaya yang hidup dalam masyarakat, (e) melestarikan sumber daya alam dan lingkungan hidup, (f) mengembangkan kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan toleransi dalam kehidupan bermasyarakat, (g) menjaga, memelihara, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, dan (h) mewujudkan tujuan negara.
Dari pengertian dan tujuan di atas tersirat bahwa, prinsip pendirian ormas adalah memiliki tujuan jelas dalam rangka partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan demi tercapainya tujuan negara, artinya ormas merupakan mitra strategis bagi pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan negara. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya-upaya pembinaan dan pengawasan terhadap ormas sehingga menjadi motor penggerak pada masyarakat karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh pemerintah itu sendiri.
Dinamika Peraturan Perundang-undangan Keormasan
Keberadaan organisasi kemasyarakatan telah diatur dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyrakatan, undang-undang ini sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 karena dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan dinamika kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Terbitnya undang-undang ini pun tidak lepas dari pro dan kontra di tengah masyarakat, sebagaimana disampaikan oleh pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsudin Haris sebelum undang-undang ini disahkan mengatakan bahwa pemerintah telah menganut paham terbalik kebebasan masyarakat, sehingga menjadikan pemerintahan ingin berkuasa secara penuh.
"Asumsi pembuatan UU Ormas ini adalah bahwa masyarakat merupakan sumber masalah bagi negara dan kekuasaan. Masyarakat dianggap sebagai sumber konflik dan penyebab disintegrasi bangsa. Itu adalah pandangan yang salah sejak awal," kata Syamsudin dalam jumpa pers ‘Menolak RUU Ormas, Menolak Hegemoni Negara,” di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Indonesia, Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat, Minggu (30/6/2013).
Pemerintah beralasan bahwa terbitnya undang-undang keormasan dalam rangka pengaturan menjalankan hak asasi dan kebebasannya secara individu maupun kolektif, setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia lainnya dan wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam masyarakat yang demokratis. Selain itu, peningkatan peran dan fungsi Ormas dalam pembangunan memberi konsekuensi pentingnya membangun sistem pengelolaan Ormas yang memenuhi kaidah Ormas yang sehat sebagai organisasi nirlaba yang demokratis, profesional, mandiri, transparan, dan akuntabel. Ormas wajib menjadikan Pancasila sebagai napas, jiwa, dan semangat dalam mengelola Ormas. Pengakuan dan penghormatan terhadap Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai dasar dan falsafah berbangsa dan bernegara, tetap menghargai dan menghormati kebhinnekaan Ormas yang memiliki asas perjuangan organisasi yang tidak bertentangan dengan Pancasila, dan begitu pula Ormas yang menjadikan Pancasila sebagai asas organisasinya. Dinamika Ormas dengan segala kompleksitasnya menuntut pengelolaan dan pengaturan hukum yang lebih komprehensif.
Sebagai petunjuk pelaksanaan sebagai turunan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 baru diterbitkan pemerintah tahun 2016, dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2016 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 59 tahun 2016 tentang Organisasi Kemasyarakatan Yang Didirikan Oleh Warga Negara Asing. PP Nomor 58 Tahun 2016 sebagai petunjuk pelaksanaan UU Nomor 17 tahun 2013 mengatur tentang tata cara pendirian ormas, pendaftaran dan pemberdayaan ormas, dibangunnya Sistem Informasi Ormas dan perizinan, tim perizinan dan pengesahan ormas yang didirikan oleh warga negara asing. Selain itu, peraturan pemerintah ini mengatur bagaimana dilakukannya pengawasan, mediasi penyelesaian sengketa dan sanksi yang dapat dikenakan terhadap ormas. Sedangkan PP Nomor 59 Tahun 2016 lebih ditekankan pada tertib administrasi penyelenggaraan organisasi kemasyarakatan yang didirikan oleh warga negara asing, mengatur mengenai pemberian perizinan, tim perizinan, dan pertimbangan pengesahan badan hukum organisasi kemasyarakatan tersebut, serta tata cara pengenaan sanksi bagi yayasan asing atau sebutan lainnya.
Pada tahun 2017 ini, Pemerintah beranggapan bahwa Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 mendesak untuk segera dilakukan perubahan karena belum mengatur secara komprehensif mengenai keormasan yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sehingga terjadinya kekosongan hukum dalam hal penerapan sanksi yang efektif. Selain itu, terdapat pelanggaran terhadap asas dan tujuan organisasi kemasyarakatan yang didasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan perbuatan yang sangat tercela dalam pandangan moralitas bangsa Indonesia terlepas dari latar belakang etnis, agama, dan kebangsaan pelakunya.
Atas dasar tersebut, maka terbitnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Selain alasan diatas, dalam Perppu ini menyatakan bahwa terdapat organisasi kemasyarakatan tertentu yang dalam kegiatannya tidak sejalan dengan asas organisasi kemasyarakatan sesuai dengan anggaran dasar ormas yang telah terdaftar dan telah disahkan pemerintah, dan bahkan secara faktual terbukti ada asas ormas dan kegiatannya bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang ormas belum menganut asas cantrarius actus sehingga tidak efektif untuk menerapkan sanksi terhadap organisasi kemasyarakatan yang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham sebagaimana di atas.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto menjelaskan tiga pertimbangan pemerintah dalam penerbitan perppu. Pertama, tindakan pemerintah sudah sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009.
"Presiden bisa mengeluarkan perppu atas dasar adanya keadaan yang membutuhkan atau keadaan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang," ujar Wiranto, dalam konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam, Rabu (12/7/2017).
Kedua, terkait aturan hukum yang belum memadai. Menurut Wiranto, perppu bisa diterbitkan untuk memberikan solusi agar tidak terjadi kekosongan hukum.
"Undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Atau ada undang-undang tetapi tidak memadai untuk menyelesaikan masalah hukum," ujar Wiranto lebih lanjut.
Ketiga, perppu bisa diterbitkan jika kekosongan hukum tersebut tidak bisa diatasi dengan cara membuat undang-undang baru. Mekanisme dan prosedur untuk membuat undang-undang baru memang membutuhkan jangka waktu yang panjang, dan itu jadi kendala.
"Sementara kondisinya harus segera diselesaikan. Kalau menunggu undang-undang yang baru tidak bisa, harus segera diselesaikan," kata Wiranto.
Tiga pertimbangan itulah yang menjadi pijakan pemerintah untuk menerbitkan Perppu Nomor 2 Tahun 2017 yang ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 10 Juli 2017.
Pada hari Selasa, 24 Oktober 2017, melalui Rapat Paripurna DPR RI sepakat mengesahkan RUU tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan menjadi undang-undang. Pengesahan itu disepakati lewat mekanisme voting setelah upaya musyawarah mufakat tak tercapai. Selanjutnya dimasukkan dalam berita negara menjadi Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2017 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 201t tentang Perubahan Astas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan Menjadi Undang-Undang pada tanggal 22 November 2017.
Sebagai tindak lanjut dari Perppu Nomor 2 tahun 2017, sebelum menjadi undang-undang, Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri telah mengeluarkan beberapa aturan petunjuk pelaksanaan, yaitu Permendagri Nomor 56 Tahun 2017 tentang Pengawasan Organisasi Kemasyarakatan Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah, ditetapkan pada tanggal 31 Juli 2017, Permendagri Nomor 57 tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Pengelolaan Sistem Informasi Organisasi Kemasyarakatan (21 Juli 2017), dan Permendagri Nomor 58 Tahun 2017 tentang Kerjasama Kementerian Dalam Negeri Dan Pemerintah Daerah Dengan Organisasi Kemasyarakatan Dan Badan Atau Lembaga Dalam Bidang Politik Dan Pemerintahan Umum (21 Juli 2017).
Pengawasan Organisasi Kemasyarakatan
Permendagri Nomor 56 Tahun 2017 tentang Pengawasan Organisasi Kemasyarakatan Di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah, bertujuan untuk (a) menjamin aktivitas ormas berjalan secara efektif dan efesien sesuai dengan rencana dan program kerja serta ketentuan peraturan perundang-undangan, (b) meningkatkan kinerja dan akuntabilitas ormas, dan (c) menjamin terlaksananya fungsi dan tujuan ormas atau ormas yang didirikan oleh warga negara asing.
Pengawasan yang dilakukan dapat berupa pengawasan internal maupun eksternal. Pengawasan internal dilakukan oleh ormas itu sendiri melalui struktur organisasi yang ada, sedangkan pengawasan eksternal dilakukan oleh masyarakat, Menteri, Gubernur, dan Bupati/Walikota.
Pengaduan masyarakat dapat disampaikan kepada setiap level jenjang pemerintahan, Pusat dan Daerah, melalui unit pelayanan pengaduan masyarakat pada kementerian/lembaga dan/atau Pemerintah Daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bila belum tersedia pada Pemerintah Daerah, pengaduan masyarakat dapat disampaikan melalui Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik setempat.
Untuk meningkatkan pelaksanaan Pengawasan Ormas dibentuk Tim Terpadu Nasional, Provinsi, dan Kabupaten Kota. Tim terpadu dapat melibatkan instansi vertikal, seperti unsur Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian Sosial, Kementerian Agama, Kepolisian, Kejaksaan, TNI, dan Badan Intelijen Negara.
Permendagri ini juga sekaligus mencabut Permendagri Nomor 49 Tahun 2010 tentang Pedoman Pemantauan Orang Asing dan Organisasi Masyarakat Asing di Daerah.
Pendaftaran dan Pengelolaan SIORMAS
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah, sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu diterbitkan Permendagri Nomor 57 tahun 2017 tentang Pendaftaran dan Pengelolaan Sistem Informasi Organisasi Kemasyarakatan.
Pendaftaran adalah proses pencatatan terhadap Ormas yang “tidak berbadan hukum” untuk pencatatan dalam administrasi pemerintahan dengan persyaratan tertentu untuk diberikan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) oleh Pemerintah yang diselenggarakan oleh Menteri Dalam Negeri. Sedangkan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) adalah dokumen yang diterbitkan oleh Menteri Dalam Negeri yang menyatakan Ormas tidak berbadan hukum telah terdaftar pada administrasi pemerintahan.
Sistem Informasi Ormas yang selanjutnya disebut SIORMAS adalah seperangkat tatanan yang meliputi data, informasi, sumber daya manusia, dan teknologi yang saling berkaitan dan dikelola secara terintegrasi yang berguna untuk mendukung manajemen pelayanan publik dan tertib administrasi. SKT diterbitkan oleh Menteri Dalam Negeri dengan masa berlaku 5 (ima) tahun.
Perubahan besar pada peraturan ini adalah bahwa Surat Keterangan Terdaftar tidak bisa lagi dikeluarkan oleh Daerah, seluruhnya terpusat di Kementerian Dalam Negeri melalui Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum atas nama Menteri Dalam Negeri. Tentunya ini akan memperpanjang birokrasi yang ada untuk ormas di daerah. Bila ormas di daerah akan melakukan pendaftaran organisasinya, dapat langsung mendatangi Unit Layanan Administrasi Kementerian Dalam Negeri, atau melalui Pemerintah Daerah. Dalam hal pemerintah daerah belum memiliki Unit Layanan Administrasi, maka secara fungsional dilakukan oleh Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik setempat. Setelah dilakukan pemeriksaan kelengkapan dan keabsahan dokumen pendaftaran oleh Badan/Kantor Kesatuan Bangsa dan Politik setempat, berkas pendaftaran tersebut baru dikirim ke Kementerian Dalam Negeri. Pendaftaran tersebut dapat saja ditolak, tentunya dengan disertai alasan penolakan.
Surat Keterangan Terdaftar ormas yang telah berakhir masa berlakunya dapat melakukan perpanjangan atau perubahan. Perubahan SKT dimaksud apabila terjadi perubahan nama, bidang kegiatan, NPWP, dan/atau alamat ormas. Perpanjangan atau perubahan SKT tetap melalui prosedur atau tata cara yang sama dengan proses pendaftaran ormas di atas.
Pendaftaran organisasi kemasyarakatan yang dilakukan secara tersebut ini, tentunya dalam rangka pengawasan dan pembinaan keberadaan organisasi kemasyarakat, sekaligus untuk menghimpun data ormas di seluruh Indonesia ke dalam SIORMAS.
*) Disampaikan dalam bentuk paparan pada kegiatan Sosialisasi Pembinaan Ormas, LSM dan Lembaga Nirlaba Lainnya Tingkat Kabupaten Lebak, di Rangkasbitung, 30 November 2017.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar