HIRUK PIKUK PENETAPAN UNDANG-UNDANG
Undang-Undang 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah disahkan dalam Paripurna DPR RI pada tanggal 26 September 2014. Empat hari menjelang berakhirnya Anggota DPR RI periode 2009-2014 pada tanggal 30 September 2014. Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pada kesempatan itu mengharapkan Undang-Undang Pemerintah Daerah ini bisa bertahan 25 tahun ke depan.
Pada hari yang sama, DPR RI juga mengesahkan Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota. Terjadilah hiruk pikuk politik nasional karena dalam kandungan undang-undang yang baru disahkan menyatakan bahwa Gubernur, Bupati Dan Walikota tidak lagi dipilih langsung oleh masyarakat, tetapi dipilih melalui mekanisme DPRD. Hiruk pikuk politik nasional ini pun menenggelamkan undang-undang pemerintahan daerah.
Pada tanggal 2 Oktober 2014, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati Dan Walikota dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diundangkan, artinya secara resmi menjadi aturan berkekuatan hukum tetap. Sejak disahkannya Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota oleh DPR RI, gelombang penolakan masyarakat cukup besar. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berpendapat bahwa sebuah undang-undang yang mendapatkan penolakan kuat dari masyarakat akan menghadapi tantangan dan permasalah dalam implementasinya, atas dasar tersebut Presiden SBY menerbitkan 2 (dua) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), yaitu Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota dimana Perppu ini sekaligus mencabut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014. Konsekuensi dari terbitnya Perppu Nomor 1 Tahun 2014 yang menggembalikan pilkada secara langsung, maka untuk menghilangkan ketidakpastian hukum di masyarakat diterbitkan pula Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang isinya menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih Kepala Daerah.
Sesuai peraturan perundang-undangan, kedua Perppu dibawa ke Rapat Paripurna DPR RI untuk mendapatkan persetujuan atau penolakan langkah yang diambil oleh Pemerintah. Pada tanggal 20 Desember 2014, Rapat Paripurna DPR RI menyatakan menerima dan menyetujui dan selanjutnya mengesahkan kedua Perppu menjadi Undang-Undang. Selanjutnya diundangkan pada tanggal 2 Februari 2015 menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang.
Saat pengesahan dan pengundangan kedua Perppu, rezim sudah berganti, Anggota DPR RI hasil Pemilu 2014 dilantik pada tanggal 1 Oktober 2014 sedangkan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dilantik pada tanggal 20 Oktober 2014. Arah dan kebijakan politik dalam negeri pun berubah mengikuti visi misi presiden dan wakil presiden terpilih.
Pemerintahan Presiden Jokowi dan beberapa anggota DPR RI beranggapan masih terdapat kekurangan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dalam implementasi pilkada, oleh karena itu perlu dilakukan perubahan. Akhirnya, secara simultan dilakukan pembahasan perubahan undang-undang tersebut dan disahkan dalam rapat paripurna DPR RI pada tanggal 17 Februari 2015, bersamaan dengan perubahan Undang-Undang Pemerintahan Daerah terkait pengaturan dalam pilkada. Terbitlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 dan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 pada tanggal 18 Maret 2015. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 telah mengalami dua kali perubahan untuk mengikuti undang-undang pilkada.
IMPLEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2014 YANG TERSEOK-SEOK
Ditengah gonjang-ganjing politik nasional dengan aturan pilkada, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengeluarkan Surat Edaran Nomor 120/253/SJ tanggal 16 Januari 2015 tentang Penyelenggaraan Urusan Pemerintah Setelah Ditetapkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dimana surat edaran ini mengamanatkan agar dilakukan serah terima personil, pendanaan, sarana dan prasarana serta dokumen (P3D) sesuai dengan kewenangan urusan pemerintahan sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Proses pengalihan kewenangan dilakukan baik dari Kabupaten/Kota ke Provinsi atau Pusat maupun sebaliknya, sebagai contoh pengalihan pengelolaan pendidikan menengah (SMA/SMK) yang semula dikelola oleh Pemerintah Kabupaten/Kota beralih kewenangannya ke Pemerintah Provinsi.
Tanpa turunan peraturan pelaksanaan dari undang-undang seperti Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri, proses implementasi hanya menggunakan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri mengingat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 mengamanatkan batas waktu proses pengalihan selama 2 (dua) tahun sejak diundangkannya. Pada pelaksanaannya, terjadi penolakan oleh beberapa Kepala Daerah terkait proses pengalihan kewenangan tersebut, terutama pengelolaan pendidikan menengah dimana SMA/SMK akan dikelola oleh Pemerintah Provinsi. Alasan penolakan tersebut antara lain karena selama ini Pemerintah Kabupaten/Kota sudah menerapkan pendidikan gratis hingga jenjang SMA/SMK kepada siswanya, bagaimana nanti setelah dikelola oleh provinsi? Apakah dapat meneruskan kebijakan ini? Penolakan kepala daerah dilakukan hingga melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Walaupun pada akhirnya Mahkamah Konsitusi memutuskan bahwa pengelolaan SMA/SMK tetap oleh Pemerintah Provinsi sesuai dengan Putusan MK Nomor 30/PUU-XIV/2016 tanggal 19 Juli 2017.
Sebelum keluarnya putusan MK, Pemerintah Pusat tetap terus memerintahkan agar Pemerintah Daerah menjalankan kewenangannya sesuai undang-undang sampai dengan batas waktu yaitu 2 Oktober 2016, sehingga per tanggal 1 Januari 2017 susunan struktur organisasi Pemerintah Kabupaten/Kota dan Provinsi sudah harus sesuai kewenangan yang dimiliki berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014. Melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 120/5935/SJ tanggal 16 Oktober 2015 tentang Percepatan Pelaksanaan Pengalihan Urusan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, Pemerintah Daerah harus melaksanakan paling lambat 2 Oktober 2016 untuk batas akhir Berita Acara Serah Terima Personel, Sarana dan Prasarana serta Dokumen (P2D).
Tetapi disatu sisi, Pemerintah Pusat tidak melakukan proses pengalihan urusan kewenangan sesuai amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 bilamana kewenangan tersebut berpindah dari Provinsi/Kabupaten/Kota ke Pemerintah Pusat. Salah satu contoh harus beralihnya kewenangan Pemerintahan Umum (Kesatuan Bangsa dan Politik) dari Provinsi/Kabupaten/Kota ke Kementerian Dalam Negeri. Badan Kesbangpol yang berada di Provinsi dan Kabupaten/Kota seharusnya menjadi instansi pusat bila mengacu kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, tetapi tidak dilakukan oleh Pemerintah Pusat dengan alasan keterbatasan anggaran APBN.
Adanya Surat Menteri Keuangan No. S-757/MK.02/2016 tanggal 9 September 2016 perihal Usulan Penyediaan Tambahan Alokasi Belanja Pegawai Tahun 2017 kepada Kepala BKKBN sebagai Tindak Lanjut Rencana Pengalihan Status Pegawai Atas Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, berisikan bahwa usulan Alokasi Anggaran Tahun Anggaran 2017 untuk belanja pegawai PKB/PLKB yang dialihkan urusannya dari Kabupaten/Kota ke Pemerintah Pusat belum dapat dipertimbangankan dengan penjelasan bahwa sesuai dengan arahan Presiden pada Rapat Kabinet Terbatas tanggal 30 Mei 2016, yang pada intinya tidak memperkenankan dilakukannya pengalihan status pegawai dari Daerah ke Pusat, serta Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang dapat dijadikan dasar hukum pengalihan status pegawai berkenaan sampai dengan saat ini belum ditetapkan. Bahwa surat dimaksud juga ditembuskan kepada Menteri Dalam Negeri, Menteri Perhubungan, Menteri ESDM, Menteri Kelautan dan Perikanan, Kepala BKN, Direktur Jenderal Anggaran dan Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan untuk rujukan.
Seperti halnya dengan fungsi Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah, sesuai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 terdapat 45 jenis tugas dan wewenang Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat dimana pendanaan pelaksanaan tugas dan wewenang tersebut dibebankan pada APBN serta membentuk Perangkat Gubernur Sebagai Wakil Pemerintah Pusat. Tetapi, melalui Surat Sekretariat Kabinet Nomor B543/Seskab/Polhukam/09/2016 tanggal 29 September 2016 menyampaikan arahan Presiden, bahwa dengan keluarnya Undang-Undang tidak harus diikuti dengan pembentukan badan baru, serta Kementerian Dalam Negeri pun tidak mendapatkan alokasi anggaran yang cukup untuk menjalankan pendanaan tugas dan wewenang sebagaimana amanat undang-undang melalui mekanisme dekonsentrasi dan tugas pembantuan.
REFLEKSI TIGA TAHUN
Hingga tiga tahun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah diundangkan, masih sangat minim peraturan pelaksanaan dalam rangka implementasi undang-undang tersebut. Kementerian-kementerian pun hanya mengandalkan surat edaran untuk tetap menjalankan amanat undang-undang.
Pada kesempatan ini, penulis mencoba merefleksikan tiga tahun Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 serta harapan yang diinginkan:
Pertama, keberadaan Undang-Undang Pemerintahan Daerah selalu berdampingan dengan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah, sehingga bila terjadi kebijakan politik terkait undang-undang pilkada, maka undang-undang pemerintahan daerah pun ikut berubah.
Kedua, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 membawa perubahan struktur urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota, hal ini mengakibatkan pergeseran atau peralihan kewenangan. Terjadi resistensi, baik dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Dari Pemerintah Daerah resistensi yang menonjol adalah pengalihan pendidikan menengah (SMA/SMK), sedangkan resistensi dari Pemerintah Pusat adalah pengalihan pegawai dari pegawai daerah menjadi pegawai pusat untuk dibeberapa urusan pemerintahan.
Ketiga, ketiadaan peraturan pelaksanaan sebagai turunan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014, padahal amanat undang-undang adalah dua tahun. Hingga Desember 2016, hanya ada empat aturan yang terbit, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2016 tentang Perangkat Daerah, Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2015 tentang Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang Pembentukan Produk Hukum Daerah, dan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2016 tentang Evaluasi Raperda Tentang Tata Ruang Daerah. Pada awal tahun 2017 telah terbit Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2017 tentang Hak Keuangan Dan Administratif Pimpinan Dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berdasarkan data di Kementerian Dalam Negeri, masih terdapat 32 (tiga puluh dua) peraturan pelaksanaan lainnya masih dalam proses pembahasan dan harmonisasi antar kementerian/lembaga.
Keempat, akibat poin kedua dan ketiga di atas, akhirnya Pemerintah Daerah tetap menjalankan urusan pemerintahan yang bukan kewenangannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Sebagai contoh: Dalam menjalankan tugas dan wewenang Sebagai Wakil Pemerintah Pusat, Gubernur menggunakan APBD karena belum terpenuhinya melalui APBN serta keberadaan Badan Kesbangpol baik di Provinsi maupun di Kabupaten/Kota.
Untuk menyelaraskan kebijakan Pemerintah Pusat saat ini, dan menghindari permasalahan hukum terkait implementasi kewenangan urusan pemerintahan, sebaiknya dilakukan perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan dimaksud untuk mengikuti isue-isue kebijakan Pemerintahan dan politik dalam negeri saat ini, sehingga terjadi harmonisasi kebijakan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah berdasarkan perundang-undangan yang berlaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar