Sesaknya BPJS Kesehatan


Ditengah masyarakat berjuang dan bertahan hidup di masa pandemi COVID-19, Pemerintah kembali menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan menjadi dasar hukum bagi pemerintah untuk kembali menaikkan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.

Berikut skema tarif iuran peserta mandiri segmen pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) sebagai berikut:
  • Kelas I, dari Rp80.000,- menjadi Rp150.000,-
  • Kelas II, dari Rp51.000,- menjadi Rp100.000,-
  • Kelas III, dari Rp25.500,- menjadi Rp42.000,-


Besaran tarif di atas mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 2020. Namun, untuk kelas III disubsidi Rp16.500,- sehingga dibayarkan tetap Rp25.500,-. Tetapi pada tahun 2021 subsidi berkurang menjadi Rp7.000,- sehingga yang harus dibayarkan peserta sebesar Rp35.000,-.

Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) adalah setiap orang yang bekerja atau berusaha atas risiko sendiri, yang terdiri dari: Notaris/Pengacara/LSM, Dokter/Bidan Praktek Swasta, Pedangang/Penyedia Jasa, Petani/Peternak, Nelayan, Supir, Ojek, Montir dan pekerja lain yang mampu membayar iuran.

Bukan Pekerja (BP) adalah setiap orang yang bukan termasuk masyarakat yang didaftarkan dan iurannya dibayar oleh Pemerintah Pusat/Daerah, PPU serta PBPU, yang terdiri dari: (1) BP Penyelenggara Negara terdiri dari Penerima Pensiun (PP) Pejabat Negara, PP PNS Pusat/Daerah, PP TNI, PP POLRI, Veteran dan Perintis Kemerdekaan dan (2) BP Non Penyelenggara Negara terdiri dari Investor, Pemberi Kerja dan BP lain yang mampu membayar iuran.

Sedangkan keanggota BPJS Kesehatan lainnya, seperti peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) Jaminan Kesehatan ditetapkan sebesar Rp42.000,- per orang per bulan. Besaran iuran ini mulai berlaku 1 Agustus 2019 dan dibayarkan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Peserta BPJS PBI merupakan program Jaminan Kesehatan fakir miskin dan orang tidak mampu dan hanya berhak untuk BPJS kelas III.

Bagi peserta BPJS Kesehatan untuk Pekerja Penerima Upah (PPU), iurannya ditetapkan sebesar 5% (lima persen) dari Gaji atau Upah per bulan dengan ketentuan 4% (empat persen) dibayar oleh Pemberi Kerja dan 1% (satu persen) dibayar oleh Peserta.

Pekerja Penerima Upah (PPU) adalah setiap orang yang bekerja pada pemberi kerja dengan menerima gaji atau upah, yang terdiri dari PPU Penyelenggara Negara dan PPU Non Penyelenggara Negara. Oleh karena itu iurannya dibayarkan secara langsung oleh Pemberi Kerja kepada BPJS Kesehatan.
  • PPU Penyelenggara Negara terdiri dari Pejabat Negara, Pegawai Negeri Sipil (PNS) Pusat/Daerah, PNS yang dipekerjakan di BUMN/BUMD, TNI/PNS TNI, POLRI/PNS POLRI, DPRD dan Pegawai Pemerintah Non Pegawai Negeri (PPNPN).
  • PPU Non Penyelenggara Negara terdiri dari Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) dan Swasta.


Tahun 2019, Pemerintah telah mengeluarkan Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Namun Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan melalui putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020 tanggal 27 Februari 2020. Putusan tersebut atas dasar permohonan keberatan hak uji materiil terhadap Perpres Nomor 75 Tahun 2019 yang diajukan oleh Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI).

Menurut Mahkamah Agung, kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS yang menyebabkan terjadinya defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, tidak boleh dibebankan kepada masyarakat, dengan menaikkan Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres No. 75 Tahun 2019. Apalagi dalam kondisi ekonomi global saat ini yang sedang tidak menentu. Menaikkan Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP guna menutupi defisit dana BJPS, diaggap telah melanggar asas pemberian pertimbangan secara adil dan berimbang (audi et alterem partem).

Pertimbangan Pemerintah Atas Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Pemerintah mengklaim bahwa terbitnya Perpres 64 Tahun 2020 untuk lebih memberikan perlindungan kesehatan masyarakat secara keseluruhan. Staf Ahli Menkeu Bidang Pengeluaran Negara Kementerian Keuangan Kunto Wibawa Dasa mengatakan, diterbitkannya perpres tersebut sebagai upaya untuk membangun ekosistem program jaminan kesehatan nasional (JKN).

"Penyesuaian iuran JKN lebih supaya program berkesinambungan dan memberikan layanan tepat waktu serta berkualitas termasuk terjangkau untuk negara dan masyarakat," kata Kunto dalam media briefing secara online, Kamis (14/5/2020).

Kenaikan iuran BPJS Kesehatan juga bertujuan untuk memperluas universal health coverage (UHC) atau cakupan akses terhadap pelayanan kesehatan. Saat ini peserta JKN sudah mencapai 82 persen, sedangkan target harus 100 persen penduduk Indonesia.

"Kita ingin menuju ke UHC. Semakin sedikit lagi iuran yang masuk itu akan semakin susah meningkatkan kepesertaan. Makanya perlu upaya ekstra untuk capai universal health coverage," ujar Kunto.

Selain itu, kenaikan iuran untuk menjamin  tak akan lagi ada peserta BPJS Kesehatan ditolak oleh rumah sakit.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, bila memang ada peserta PBPU kelas I dan II yang merasa keberatan dengan kenaikan tarif bisa turun kelas menjadi peserta kelas III.

"Kalau kelas II dan kelas I naik, kalau enggak kuat ya turun saja ke kelas III," jelas Sri Mulyani dalam acara Rosi, KompasTV, Kamis (14/5/2020).


Tanggapan Tokoh

Ganjar Pranowo Gubernur Jawa Tengah menyatakan keputusan pemerintah menaikkan iuran bagi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan memberatkan rakyat. Dia pun meminta pemanfaatan kembali sistem jaminan kesehatan daerah (Jamkesda).

"Ini berat bagi rakyat kalau benar-benar iuran BPJS naik. Pemda minta buatkan lagi Jamkesda daripada BPJS keberatan," kata Ganjar dilansir merdeka.com, Semarang, Kamis (14/05/2020).

Anggota Komisi IX DPR Fraksi PDIP, Ribka Tjiptaning, terang-terangan tidak sepakat dengan langkah pemerintah. Ribka menilai, keputusan pemerintah menaikkan iuran BPJS Kesehatan bisa berdampak pada ketidakpatuhan rakyat membayar iurannya. Maka dari itu, ia meminta kenaikan BPJS Kesehatan dibatalkan.

"Aku jelas tidak setuju, ya. Baik sebagai pribadi, sebagai fraksi PDIP, maupun sebagai Komisi IX. Itu kan sudah melalui tahapan rapat berkali-kali, yang melibatkan rapat gabungan. Bahkan pernah dipimpin oleh Ketua DPR, Mbak Puan [Maharani]. Semua menolak kenaikan BPJS dan diserahkan ke pemerintah," kata Ribka dikutip kumparan.com, Jumat (15/05/2020).

Kritikan juga disampaikan oleh Wali Kota Solo, Jawa Tengah FX Hadi Rudyatmo. Menurutnya, langkah Presiden Joko Widodo yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan seperti tertuang dalam Perpres No. 64 tahun 2020 semakin membebani masyarakat yang sudah terdampak virus corona (Covid-19).

"Enggak tepatlah (kebijakan) presiden itu, apa tidak bisa menunggu tahun anggaran depan atau sampai pandemi selesai, atau paling tidak mereda lah," katanya dilansir cnnindonesia.com, Kamis (14/05/2020).

Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menilai kebijakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dilakukan pemerintah belum disertai penjelasan yang memadai. Ridwan Kamil mengatakan kebijakan menaikkan iuran meski sebelumnya telah dibatalkan oleh keputusan Mahkamah Agung masih menyisakan pertanyaan dari masyarakat.

"Selama ini masyarakat kan persepsinya kembali ke harga yang lama sesuai dengan keputusan MA, kemudian ada kenaikan, saya kira butuh penjelasan saja. Yang saya tahu memang ada defisit dari APBN sehingga defisit ini disempurnakan melalui kenaikan BPJS. Jadi dari kami meminta penjelasan lebih jelas, karena sampai hari ini kalau saya baca, penjelasan belum komprehensif. Alasan-alasan kenapa naik dan bagaimana. Saya kira itu, supaya kami di daerah enggak ada keresahan yang tidak bisa kami jawab. Kami butuh jawaban karena tugas provinsi adalah 50 persen perwakilan pemerintah pusat di daerah," katanya dilansir tempo.co, Kamis, (14/05/2020).

Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih mengkritik kebijakan Presiden Joko Widodo yang menaikkan iuran BPJS Kesehatan. Ia bilang pemerintah terlihat hanya ingin menaikkan iuran dan berusaha mengakali putusan Mahkamah Agung demi memenuhi ambisi tersebut.

"MA membatalkan karena kenaikan tidak dilakukan bertahap. Maka manuver politik abunawas diterapkan: naikkan dua tahap dalam waktu singkat. Yang penting seratus persen juga," kata Alamsyah dilansir tirto.id (13/05/2020).


Atas terbitnya Perpres Nomor 64 tahun 2020, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) akan kembali menggugat Perpres yang mengatur kenaikan iuran BPJS Kesehatan ke Mahkamah Agung.

"KPCDI akan berencana mengajukan uji materi ke MA kembali atas Perpres tersebut. Dan saat ini KPCDI sedang berdiskusi dengan Tim Pengacara dan menyusun materi gugatan," kata Ketua KPCDI Tony Samosir dalam keterangan tertulis, dikutip dari tirto.id, Rabu (13/5/2020)

Berdasarkan putusan MA Nomor 7/P/HUM/2020, sebaiknya Pemerintah mengambil langkah-langkah sebagaimana disarankan MA, yaitu untuk bersama-sama memperbaiki akar persoalan yang ada, membenahi sistem sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan program jaminan kesehatan yang sedang berjalan, agar tujuan untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dapat terwujud.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar