
Di tengah pandemi virus corona atau corona virus disease 2019 (COVID-19) selalu terbayangi ketakutan oleh penyebaran yang begitu cepat, setiap hari selalu tercatat bertambahnya status orang terkonfirmasi. Namun, alih-alih masyarakat menghindar atau menjauh dengan tetap di rumah saja, seperti himbauan pemerintah dengan menjaga jarak atau social distancing, masyarakat selalu dengan tradisinya: berdesakan dan berkerumun.
Tontonan kerumunan menjelang lebaran 2020 kemarin menjadi bukti. Media nasional pun memberitakan. Mal-mal dan pusat perbelanjaan ramai oleh pengunjung untuk berbelanja kebutuhan lebaran. Seakan virus corona sudah tiada tak berjejak. Jaga jarak hanya slogan tak berarti. Masker hanya sebagai asesoris.
Wacana pemerintah melonggarkan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB ditanggapi gegap gempita, menjadi eforia. Keramaian dan kerumunan orang kembali terjadi lagi, kemacetan lalu lintas menjadi pemandangan biasa lagi. Larangan mudik menjadi andrenalin untuk menerobosnya, berbagai cara dilakukan. Tindakan melawan hukum dengan memalsukan izin perjalanan sebagai tindakan pun dilakukan, termasuk truk disulap seperti angkutan orang bertenda.
Kini pasca lebaran. Mal dan pusat perbelanjaan siap-siap membuka gerainya kembali, siap menyambut pengunjung di masa pandemi dengan protokol kesehatan, katanya. Tarik ulur dibuka atau tidaknya mal hanya ramai di kota-kota. Sementara di kampung-kampung, di pedalaman kota, pingiran kota, geliat ekonomi sudah berjalan laksana sebelum pandemi.
Olah raga menjadi tren di masa PSBB melepas kejenuhan terkarantina di rumah. Lihat saja keramaian antusiasme masyarakat yang berolahraga di kawasan bundaran Hotel Indonesia (HI) pada Minggu pagi (7/6/2020). PSBB transisi dimaknai back to normal.
Paling tidak ada dua penyebab kenapa masyarakat seolah-olah tidak takut terhadap pandemi. "New Normal" yang digaungkan pun menjadi "Back to Normal". Beraktivitas seperti kebiasaan sebelum COVID-19 melanda dunia. Pertama, kejenuhan di rumah saja hampir tiga bulan lamanya. Kejenuhan melanda dengan tidak melakukan apa-apa selain kegiatan di rumah. Walaupun bekerja di rumah atau work from home, tentunya belum dapat mengusir kebosanan terkungkung dalam rumah dalam kurun waktu lama. Praktis lebih banyak menonton televisi daripada bekerjanya. Bosan melihat ruang tamu, kamar tidur, dapur, serta serambi depan. Itu-itu saja tanpa variasi, apalagi adanya ancaman gangguan kesehatan seperti cabin fever dan obesitas. Di rumah saja menjadi identik menambahnya berat badan. Belum lagi tingkat kehamilan di masa pandemi diyakini meningkat tajam.
Kedua, tuntutan perut harus tetap di isi. Kebutuhan untuk berlangsungnya kehidupan, belum lagi cicilan-cicilan yang menjerat tanpa ampun. Ya, kebutuhan ekonomi mencari nafkah tetap dilakukan dalam rangka memenuhi kebutuhan itu. Kenyataannya pandemi tidak menghentikan bayaran sekolah, tidak menghentikan tagihan listrik, dan kredit-kredit lainnya. Bahkan sebagian orang harus rela motor yang biasa mengantar anaknya sekolah ditarik leasing karena sudah tidak sanggup bayar cicilan lagi. Pandemi juga tidak menghentikan total kegiatan-kegiatan industri dan pabrik, dibuktikan adanya aktivitas pabrik dan akhirnya menjadi klaster infeksi penyebaran virus seperti di Surabaya, Bekasi dan Tangerang.
Bila alasan kedua karena tuntutan ekonomi dapat dimaklumi, sesuai teori kebutuhan paling dasar dari Maslow. Namun, bila alasan pertama menjadikan acara reuni kecil-kecilan, anjang sana kangen-kangenan dengan kerabat di cafe dan warung kopi, tentunya menjadi kontra produktif dalam melawan penyebaran virus yang diyakini berawal dari wilayah Wuhan China.
Lihat saja aktivitas warga di Perum Perumnas Kota Tangerang, masuk wilayah Kecamatan Karawaci dan Cibodas. Beberapa cafe, rumah makan, atau tenda-tenda kaki lima sudah beroperasi secara normal seperti warung seafood, pecel lele mie ayam, dan sebagainya (06/06/2020).
Ya, back to normal. Geliat itu tampak. Masker yang digunakan sebagai hiasan di leher, mulut dan hidung tetap terbuka bercakap-cakap dan menghirup aroma kopi yang menggoda. Mereka seperti tidak tersentuh. Disiplin jaga jarak dan protokol kesehatan hanya layak diketahui, bukan dipraktekkan.
Apakah mereka tahu tentang aturan protokol kesehatan? Ya, mereka tahu, hanya memang kedisiplinan masyarakat Indonesia belum menjadi kebiasaan. Tatkala pemerintah ketat untuk pusat perbelanjaan atau toko-warung modern, untuk pedagang kaki lima seperti lepas kontrol. Urusannya adalah perut. Kalau sudah urusan perut, apapun nekat dilakukan.
Pesannya adalah, silahkan "Back to Normal" tetapi jangan nafikan penyebaran virus corona masih menghantui kehidupan manusia saat ini. Pemerintah mengumumkan jumlah kasus positif virus corona atau COVID-19 di Indonesia pada Minggu (7/6/2020) telah mencapai 31.186 kasus. Sebanyak 9.907 pasien dinyatakan sembuh sementara 1.801 pasien lainnya meninggal dunia.
Silahkan back to normal dengan memperhatikan protokol kesehatan. Selalu gunakan masker, rajin-rajin cuci tangan, dan patuhi ketentuan jaga jarak. Bagi para pedagang, patuhi juga untuk selalu menjaga kebersihan tempat dan sarana prasara lainnya. Lakukanlah desinfektan secara rutin. Ini semua demi kesehatan seluruh warga, diri sendiri dan masyarakat.
Back to Normal dengan disiplin protokol kesehatan di masa pandemi. It's New Normal!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar