
DPR RI, Pemerintah, dan KPU telah menyepakati gelaran Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Serentak Tahun 2020 dilaksanakan pada 9 Desember 2020. Direncanakan tahapan pilkada yang tertunda pada bulan Maret 2020 karena merebaknya pandemi virus corona akan dilanjutkan pada tanggal 15 Juni 2020. Hingga kini KPU RI sedang menyusun aturan tahapan lanjutan pilkada dengan memperhatikan protokol kesehatan di masa pandemi COVID-19.
Putusan politik ini membawa konsekuensi tetap dilakukannya pesta demokrasi mencari pemimpin-pemimpin negeri di level lokal pemerintah daerah, dalam suasana seluruh sektor kehidupan masih berjuang melawan virus yang belum ada obatnya. Pertaruhan antara keberlangsungan politik dalam negeri dengan kesehatan masyarakat.
Baca Juga: "New Normal" atau "Back to Normal"?
Oleh karena itu, baik DPR maupun Pemerintah telah mensyaratkan untuk berlangsungnya pilkada ini, KPU dan jajarannya hingga level terendah di tempat pemungutan suara atau TPS, harus menerapkan protokol kesehatan dan setiap tahapan pilkada harus disesuaikan di masa pandemi ini. Misal ditiadakannya kampanye akbar yang mengundang konstituante atau calon pemilih dalam jumlah besar dalam satu tempat. Sebagai pengganti dapat dilakukan secara daring atau streaming.
Coklit atau pencocokan dan penelitian pemilih dari rumah ke rumah pun selayaknya ditiadakan. Daring menjadi solusi pengganti coklit, atau memanfaatkan jaringan RT/RW di masyarakat. Paling tidak Ketua atau Pengurus RT/RW mengetahui keberadaan dan kepastian warganya.
Selain itu, gelaran pilkada ini membawa konsekuensi lain. Penambahan anggaran dalam rangka protokol kesehatan perlu dilakukan. Namun, kebijakan refocussing anggaran dalam penangganan virus corona akan memberatkan pemerintah daerah. Turunnya pendapatan asli daerah dan berkurangnya transfer pusat ke daerah menjadi masalah sendiri bagi keleluasaan fiskal daerah. KPU harus berpikir keras melakukan pengalihan alokasi anggaran yang ada dengan tetap mempertahankan kualitas pesta demokrasi dengan layanan keselamatan kesehatan petugas pemilihan dan warga pemilih.
Legalitas calon kepala daerah dengan tingkat partisipasi pemilih tidak ada hubungannya. Berapapun tingkat partisipasi pemilih, serendah apapun, selama ia memenuhi syarat dan unggul dalam pemungutan suara sah yang masuk, maka ia sah juga dilantik menjadi kepala daerah. Pemilihan Umum Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara Tahun 2013 menunjukkan tingkat partisipasi pemilih hanya 48,50 persen, dengan demikian angka yang tidak ikut memilih atau golput mencapai 51,50 persen. Gatot Pujo Nugroho dan Tengku Erry Nuradi resmi dilantik menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara periode 2013–2018.
Tingkat partisipasi Pilkada Serentak 2015, 2017 dan 2018, serta puncaknya Pemilu 2019 (pileg dan pilpres) sangat baik, meningkat dari tahun ke tahun. Akankah Pilkada Serentak 2020 tren ini akan bertahan?
Beberapa tokoh dan ahli pesimis terhadap partisipasi pemilih di tengah pandemi virus corona.
"Dalam situasi wabah seperti ini yang dipikirkan bukan hanya soal kesiapan penyelenggara menggelar pilkada tetapi sejauh mana kesiapan dan kemauan masyarakat untuk partisipasi aktif dalam pilkada di tengah pandemi. Pilkada tanpa partisipasi masyarakat akan kehilangan maknanya,” ujar Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Fahira Idris, dilansir republika.co.id (04/06/2020).
Belum lagi bagi petahana yang terpecah konsentrasi antara penangganan COVID-19 dengan suksesinya dalam konstelasi pilkada. Pandemi belum usai tetapi konsentrasi akan mengganggu partisipasi pemilih.
"Dengan situasi yang (COVID-19) peak-nya belum terjadi dan kemudian kemungkinan pasca peak juga proses penanganannya juga lama, saya khawatir kalau dipaksakan pelaksanaannya buru-buru itu saya khawatirnya rendahnya partisipasi pemilih," kata Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Arya Fernandes (kompas.com, 16/04/2020).
Jadi, wajar saja KPU menargetkan partisipasi pemilih di pilkada 2020 sebesar 77,5 persen. Turun dibandingkan partisipasi pemilihan yang terakhir digelar KPU pada pemilu 2019, yaitu mencapai 81 persen. Tetapi terlihat ambisius dibandingkan tingkat partisipasi pemilih pada Pilkada Serentak 2018 sebanyak 73,24 persen dan Pilkada 2017 mencapai 74 persen. Pilkada dan Pemilu tidak dapat dibandingkan, dua pelaksanaan pemilu terakhir, 2014 dan 2019, diwarnai kuatnya politik identitas yang mendorong tingkat partisipasi warga. Hal ini tidak terjadi pada pilkada, walau ada tetapi kecil pengaruhnya.
DPR, Pemerintah, dan KPU memilih tetap menjalankan roda demokrasi. Putusan politik dalam suasana pandemi. Calon-calon kepala daerah pun sudah tidak sabar agar segera dilaksanakan pilkada yang menentukan nasibnya.
Oleh karena itu, masyarakat pemilih sebagai warga negara tentunya harus menggunakan hak pilihnya. Jangan pilkada serentak 2020 kehilangan makna karena rendah tingkat partisipasinya. Mari gunakan hak pilih secara bijak. Walau dalam suasana pandemi, tetap gunakan hak pilih untuk kepemimpinan daerah di tahun-tahun mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar