Mencari Format Penyelenggaraan Otonomi Daerah



OTONOMI DAERAH DALAM KONSTITUSI
Dasar penyelenggaraan otonomi daerah di Indonesia adalah sesuai dengan amanat konstitusi, yaitu UUD Tahun 1945. Pasal 4 ayat (1) UUD Tahun 1945 menyatakan bahwa "Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar", kemudian pada Pasal 18 ayat (1) menyatakan bahwa "Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah". Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (2) menyatakan bahwa "Pemerintah daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan", kemudian dalam Pasal 18 ayat (5) menyatakan bahwa "Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat".
Sesuai dengan amanat konstitusi sebagaimana di atas, disinilah terdapat pengaturan penyelenggaraan otonomi daerah. Pengaturan-pengaturan tersebut antara lain: (a) pemegang kekuasaan pemerintahan negara adalah Presiden Republik Indonesia, selaku Kepala Pemerintahan, sehingga tanggung jawab pemerintahan secara nasional berada di tangan Presiden, (b) Negara Indonesia dibagi atas daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota, artinya daerah-daerah tersebut bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), (c) sebagai negara kesatuan maka kekuasaan pemerintahan provinsi, kabupaten, dan kota berasal dari kekuasaan pemerintahan negara yang di pegang oleh Presiden, dan (d) otonomi merupakan salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dijalankan seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang ditentukan sebagai urusan pemerintahan pusat, hal ini memaknai bahwa pemerintahanan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang dibagi oleh pemerintah pusat.
Sejarah penyelenggaraan otonomi daerah sejak Indonesia merdeka diwarnai dengan tarik ulur besaran kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan antara pemerintah pusat dan daerah, serta pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Tarik ulur kepentingan dalam hal kewenangan ini dapat digambarkan sebagai dinamika otonomi daerah sebagai dominasi kewenangan sebagaimana tersirat dalam setiap undang-undang yang dilahirkan. Diawali dengan lahirnya UU Nomor 1 Tahun 1945, undang-undang sangat dominan sentralisasi atas kewenangan pada pemerintah pusat, tentunya hal ini dimaklumi karena Indonesia baru lahir, sehingga diperlukan pengaruh yang kuat dari pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah dalam rangka tetap menjaga persatuan dan kesatuan negara yang baru lahir. Tetapi undang-undang ini tidak lama, kurang lebih tiga tahun kemudian lahirlah UU Nomor 22 Tahun 1948, undang-undang ini mengatur seluas-luasnya otonomi daerah sehingga dominasi undang-undang ini adalah desentralisasi hingga terbitnya UU Nomor 1 Tahun 1957 pun masih dominan desentralisasi.
Dekrit Presiden sebagai tanda kembalinya konstitusi negara kepada UUD Tahun 1945, mengembalikan pula kewenangan penyelenggaraan pemerintahan menjadi sentralisasi, ditandai dengan lahirnya Presidential Edict No. 6/1959. Kemudian pada tahun 1965 lahir UU Nomor 18 Tahun 1965 dengan mengembalikan otonomi daerah kepada dominasi desentralisasi, tetapi pada tahun 1974 kembali sentralisasi dengan UU Nomor 5 Tahun 1974. Undang-undang ini bertahan cukup lama pada masa yang disebut dengan orde baru, baru setelah tumbangnya orde baru tatkala memasuki orde reformasi titik berat otonomi daerah kembali ke desentralisasi dengan UU Nomor 22 Tahun 1999.

OTONOMI DAERAH PADA MASA ORDE BARU
Keiinginan pemerintah pada saat itu dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto untuk menggenjot pelaksanaan otonomi daerah pada dasarnya sangat menggebu-gebu. Hal ini dibuktikan dengan pencanangan percontohan otonomi daerah pada tanggal 25 April 1995, yang menetapkan 26 daerah tingkat II di seluruh Indonesia sebagai kabupaten percontohan dengan masa uji coba selama dua tahun. Bahkan, tanggal pencanangan kebijakan ini ditetapkan sebagai “Hari Otonomi Daerah” berdasarkan Keputusan Presiden RI Nomor 11 Tahun 1996.
Pada awal April 1997 jumlah daerah tingkat II percontohan otonomi ditambah menjadi 68 daerah, yang terdiri dari 43 Kabupaten dan 25 Kotamadya di semua ibukota provinsi kecuali DKI Jakarta dan Timor-Timur yang tidak memiliki kotamadya otonom. Kalimantan Timur, Bali, dan Bengkulu menjadi provinsi yang paling semangat menerapkan kebijakan percontohan otonomi dan menjadikan semua daerah tingkat II-nya sebagai daerah percontohan.
Bagaimana sebelum era 1990-an? Komitmen pemerintah pada saat itu bisa dikatakan rendah dan berjalan tidak tentu arah. Sejak lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dimana dalam Pasal 11 menyebutkan bahwa titik berat otonomi diletakkan pada Daerah Tingkat II, namun Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaan undang-undang tersebut tidak kunjung diterbitkan. Dengan ketiadaan aturan petunjuk pelaksanaan ini akhirnya otonomi daerah berjalan sesuai dengan keinginan atau selera Pemerintah Pusat. Asas dekonsentrasi dan asas tugas pembantuan berjalan tidak serasi dengan asas desentralisasi. Indikasi ini dapat dilihat dengan munculnya kantor-kantor departemen dan kantor-kantor lembaga pemerintah non departemen di Daerah Tingkat II, bahkan jumlahnya lebih banyak dari jumlah dinas-dinas yangb ada di daerah tingkat II. Dampak buruknya adalah sulitnya melakukan koordinasi dan program-program pembangunan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat di daerah tersebut.
Era tahun 1995-1997 dengan diadakannya proyek percontohan otonomi belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Intervensi pemerintah pusat masih sangat kuat. Pusat tampak tidak sepenuh hati dalam menjalankan kebijakan otonomi daerah tersebut, ibarat pepatah, kepala dilepas tetapi ekornya tetap dipegang.

OTONOMI DAERAH DI ERA REFORMASI
Dalam era reformasi, ditandai dengan bangkitnya demokrasi, cara-cara pengelolaan pemerintahan pun berubah secara besar-besaran, diawali dengan dilakukannya amandemen UUD Tahun 1945. Salah satu agenda penting dalam penataan pemerintahan ini adalah penataan otonomi daerah, penerapan asas desentralisasi kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah untuk menuju Indonesia Baru. Sudah saatnya pemerintah daerah diberi kepercayaan lebih, pemerintah pusat hanya sebagai pembimbing dan fasilitator dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Atas dasar tersebut lahirlah UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Beberapa pemahaman undang-undang ini antara lain (a) perubahan desain otonomi dari perspektif bertingkat menjadi sejenis. Provinsi, Kabupaten, dan Kota menjadi daerah otonom yang sederajat dengan tetap fokus utama otonomi ada di Kabupaten/Kota, (b) kelurahan dan kecamatan diubah menjadi perangkat daerah otonom kabupaten/kota, kemudian penghilangan kantong-kantong dekonsentrasi seperti kantor-kantor departemen yang bersifat teknis atau sektoral diluar wewenang pemerintah pusat, yaitu politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, serta agama, (c) menghidupkan kembali otonomi desa, desa diberi kewenangan mengurus rumah tangganya sendiri, desa tidak lagi diseragamkan formatnya dan menjadi bawahan Camat, tetapi untuk desa yang berada dalam wilayah kota dijadikan kelurahan untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat kota, (d) perubahan struktur pemerintah daerah, tidak lagi terdiri dari Kepala Daerah dan DPRD, tetapi Kepala Daerah dan Perangkat Daerah. DPRD bukan lagi unsur Pemerintah Daerah, fungsinya dipisahkan secara struktural antara lembaga legislatif dan eksekutif, (e) sistem perimbangan keuangan pusat dan daerah diubah menjadi bentuk bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus, (f) sistem pengawasan dalam hubungan pusat dan daerah lebih ditekankan pada pengawasan represif, pemerintah pusat hanya bertindak bila daerah nyata-nyata melakukan pelanggaran, dan (g) hubungan kepala daerah dengan birokrasi atau perangkat daerah dirasionalkan, pertanggungjawaban dinas/lembaga teknis tidak langsung kepada Kepala Daerah tetapi melalui Sekretaris Daerah.
Format otonomi yang dianut oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 telah mengarah kepada devolusi, yaitu bentuk terkuat dari penyelenggaraan desentralisasi, atau bahkan sudah mengarah kepada faham federal, kalu tidak hati-hati dalam mengelolanya bisa mengganggu integrasi bangsa. Dalam perjalanan sejarahnya, lahirnya UU Nomor 22 Tahun 1999 menjadikan eforia kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga menyulitkan "control" bagi pemerintahan pusat ke daerah. Atas dasar tersebut lahirlah UU Nomor 32 Tahun 2004 dalam rangka mencari keseimbangan dalam penyelenggaraan otonomi daerah antara pemerintah pusat dan daerah.

FORMAT BARU OTONOMI DAERAH : UU NOMOR 23 TAHUN 2014
Pasang surut dan tarik ulur penyelenggaraan otonomi daerah tersebut tidak berhenti hingga saat ini, lahirnya UU Nomor 23 Tahun 2014 secara besar-besaran mengkoreksi terhadap penyelenggaraan pemerintahan pusat dan daerah terkait penyelenggaraan kewenangan urusan pemerintahan. Koreksi terhadap fenomena yang terjadi sejak berlakunya UU Nomor 32 Tahun 2004, diantaranya lahirnya raja-ratu kecil di daerah (sebenarnya terlahir sejak UU Nomor 22 Tahun 1999), kontrol yang masih sulit dilakukan oleh pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah, hingga tidak adanya kesatuan gerak dalam rangka penyelenggaraan pembangunan secara nasional, daerah melaksanakan masing-masing pola pembangunannya tanpa mengikuti alur pembangunan nasional dan lain sebagainya. UU Nomor 32 Tahun 2009 dirasakan terlalu kompleks terkait pengaturan-pengaturan di dalamnya, undang-undang ini dipecah menjadi tiga undang-undang, yaitu UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Kekinian terjadi dinamika politik dan UU Nomor 22 Tahun 2014 sudah diganti dengan UU Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
UU Nomor 23 Tahun 2014 terdiri dari 27 Bab dan 411 Pasal, dimana mengatur kurang lebih 24 poin penting dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Salah satu poin krusial dalam amanat undang-undang ini adalah terkait pengaturan tentang urusan pemerintahan yang menjadi dasar penyelenggaraan otonomi daerah. Ada empat pengaturan afirmatif atau saling menguatkan, yaitu:
1.      Dilaksanakannya pemetaan urusan pemerintahan untuk menciptakan sinergi antara Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota;
2.      Adanya jaminan pelayanan publik yang disediakan pemerintah daerah kepada masyarakat;
3.      Adanya mekanisme pembinaan, pengawasan, pemberdayaan, serta sanksi yang jelas dan tegas, dimana pembinaan dan pengawasan umum dilakukan oleh Kementeriaan Dalam Negeri serta pembinaan dan pengawasan teknis dilakukan oleh kementerian/lembaga pemerintah lainnya;
4.      Presiden melimpahkan kewenangan kepada Gubernur untuk bertindak atas nama Pemerintah Pusat untuk melakukan pembinaan dan pengawasan kepada Daerah Kabupaten/Kota, sehingga Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Kabupaten/Kota bersifat hierarkis.
Pembagian kekuasaan dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 memposisikan Pemerintah Provinsi atau Gubernur dalam tiga status, yaitu (a) provinsi sebagai daerah otonom yang melaksanakan urusan konkuren yang menjadi kewenangannya, dalam pelaksanaannya dibantu oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) Provinsi dan dibiayai oleh APBD Provinsi, (b) provinsi sebagai wilayah administratif menjadi wilayah kerja bagi gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan umum di wilayah daerah provinsi yang dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh instansi vertikal dan didanai oleh APBN, dan (c) provinsi sebagai wilayah administratif menjadi wilayah kerja bagi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat, dalam pelaksanaannya dibantu oleh perangkat gubernur dan dibiayai oleh APBN. Pengaturan ini memiliki batas yang jelas karena mempunyai pengaturan, tugas pokok dan fungsi serta sumber daya yang berbeda dan tentunya menuntut pertanggungjawaban administrasi negara yang berbeda pula.
Selain itu, UU Nomor 23 Tahun 2014 telah mengatur ulang urusan pemerintahan ke dalam urusan pemerintahan absolut yang menjadi kewenangan pemerintahan pusat, urusan pemerintahan konkuren yang terbagi-bagi dalam masing-masing pemerintahan pusat dan daerah, serta urusan pemerintahan umum dimana urusan ini merupakan urusan pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh daerah (kepala daerah). Konsekuensinya adalah perubahan secara besar-besaran terkait beralihnya kewenangan terhadap manajemen pemerintahan. Unsur dan fungsi manajemen yang berubah tersebut menuntut adanya peralihan personil, pendanaan, sarana dan prasarana serta dokumen (P3D) antar tingkatan pemerintahan. Sebagai contoh: dengan beralihnya kewenangan penyelenggaraan pendidikan menengah yang sebelumnya berada di Pemerintah Kabupaten/Kota beralih ke Pemerintah Provinsi, hal ini menuntut peralihan terhadap guru-guru SLTA, termasuk didalamnya tenaga-tenaga penunjang lainnya, peralihan aset gedung dan sarana prasarana SLTA, serta pendanaan yang harus diselenggarakan oleh Pemerintah Provinsi. Tenggang waktu peralihan ini sebagaimana amanat undang-undang adalah dua tahun, artinya sejak UU Nomor 23 Tahun 2014 diundangkan tanggal 2 Oktober 2014 hingga 2 Oktober 2016, sebentar lagi. Konsekuensi lain dari perubahan penyelenggaraan urusan pemerintahan ini adalah tata ulang kelembagaan Satuan Kerja Perangkat Daerah pada Pemerintah Daerah, disesuaikan dengan keweangan urusan pemerintahan yang dimiliki sesuai dengan tipologinya (hasil pemetaan).
Pertanyaannya: Apakah format otonomi menurut UU Nomor 23 Tahun 2014 sudah baik atau sesuai harapan? Tentunya tidak bisa dijawab sekarang, penyelenggaraan otonomi daerah seiring sejalan dengan dinamika politik negeri ini. Hingga saat ini, tarik ulur dan pasang surut peraturan pemerintah sebagai aturan implementasi dari UU Nomor 23 Tahun 2014 masih terus terjadi, hal ini ditandai masih minimnya aturan pelaksana hingga batas akhir masa efektifnya undang-undang ini pada tanggal 2 Oktober 2016. Tarik ukur kepentingan selalu mewarnai peraturan perundang-undangan, tidak terkecuali undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah. Prinsipnya adalah harus sesuai tujuan utama penyelenggaraan otonomi daerah, yaitu untuk kesejahteraan masyarakat yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA
Djohan, Djohermansyah. 1998. Kebijakan Percontohan Otonomi. Jakarta: Yarsif Watampone.
____________________. 2003. Kebijakan Otonomi Daerah Tahun 1999. Jakarta: Yarsif Watampone.
____________________. 2014. Merajut Otonomi Daerah Pada Era Reformasi. Jakarta: Ikatan Keluarga Alumni Pendidikan Tinggi Kepamongprajaan (IKAPTK).
Haris, Syamsuddin. 2002. Desentralisasi, Demokratisasi & Akuntabilitas Pemerintahan Daerah. Jakarta: AIPI.
Wawan, Hadi. 2016. Perjalanan Panjang Mencari Format Baru Pelaksanaan Otonomi Daerah. https://www.hadiwawan.com/perjalanan-panjang-mencari-format-baru-pelaksanaan-otonomi-daerah.html, 16 Mei 2016.

Penulis: MASSAPUTRO DELLY TP., Kepala Bagian Otonomi Daerah pada Biro Pemerintahan Setda Provinsi Banten


Tidak ada komentar:

Posting Komentar